Absurditas Kelambanan Eksekusi Putusan Hukum
Mungkin tidak banyak lagi yang ingat dengan nama Niwen Khairiah sampai awal Januari 2017. Dua tahun lalu nama Niwen memang menghias pemberitaan di berbagai media terkait kasus penyelewengan BBM (Bahan Bakar Minyak) dan pencucian uang di seputarnya. Namun seiring dengan putusan bebas yang ia terima pada Juni 2015, nama Niken pun tenggelam.
Perkara penyelewengan BBM -atau lebih sering disebut sebagai kasus mafia minyak lintas negara- itu bermula dari temuan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang mencurigai rekening Niwen. PPATK menilai rekening Niwen, yang saat itu bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sangat tidak wajar. Perempuan itu mempunyai rekening bernilai Rp1,2 triliun.
Dari situlah terungkap pencurian minyak di tengah laut dari kapal milik Pertamina. Hasil curian itu lalu dijual lagi ke Malaysia dan Singapura.
Barangkali memang hanya sedikit orang menaruh perhatian dan mengingat pada hari keputusan bebas Nirwen itu Jaksa Penuntut Umum Abdul Faried menyatakan, "Akan kami ajukan kasasi karena terdakwa divonis bebas." Urusan hukum belumlah selesai.
Nama Niwen disebut-sebut kembali media bersamaan dengan proses seleksi calon Sekretaris MA (Mahkamah Agung). Presiden Joko Widodo mendapat tiga nama calon yang disodorkan oleh MA. Ketiga nama itu adalah Achmad Setyo Pudjoharsoyo, Aco Nur, dan Imron Rosyadi.
Dengan ketiga calon itu, ada kalangan yang meminta agar Presiden menolak calon yang dianggap bermasalah dengan integritasnya. Yaitu calon yang pernah memvonis bebas terdakwa korupsi, termasuk mafia minyak lintas negara. Tudingan itu jelas diarahkan ke Achmad Setyo Pudjoharsoyo.
Achmad adalah ketua majelis hakim yang mengadili perkara mafia minyak lintas negara dan pencucian uang tadi. Di dalam perkara itulah Niwen divonis bebas.
Dari situlah nama Niwen diingat kembali. Bukan cuma namanya, melainkan juga kasusnya.
Sekarang banyak orang tersadar, MA telah mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum untuk perkara tersebut. Majelis hakim yang diketuai oleh Artidjo Alkostar dan beranggotakan Abdul Latief dan M.S. Lumme menjatuhkan 10 tahun penjara dan denda Rp 3 miliar kepada Niwen. Bahkan perempuan itu wajib mengembalikan uang sebesar Rp6,6 miliar.
Keputusan MA tersebut dijatuhkan pada 17 Februari 2016. Sampai setahun kemudian, ketika pertama kali nama Achmad Setyo Pudjoharsoyo disebut-sebut sabagai salah satu calon Sekretaris MA, ternyata keputusan tersebut belum dieksekusi. Niwen masih melenggang bebas.
Ketika dihubungi oleh detikcom pada akhir Januari 2017, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, "Saya belum mendapat laporan dari Kajati Kepri tentang hal itu (putusan kasasi Niwen dan eksekusinya)."
Bukan cuma keputusan MA saja yang belum dieksekusi. Sampai akhir Januari lalu Niwen masih berstatus pegawai negeri sipil. Belum ada sanksi apapun atas keputusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap itu.
M Syahir, kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Sumber Daya Manusia Pemko Batam, mengaku sedang mengusulkan pemecatan Niwen ke Walikota Batam. Ia pun berdalih, "Harus dibaca dulu putusan hukumnya lalu diberikan sanksi ke yang bersangkutan."
Niwen akhirnya memang dieksekusi. Perempuan terpidana pencucian uang itu ditangkap di Jakarta 2 Februari kemarin. Ia diterbangkan oleh tim jaksa eksekutor ke Pekanbaru untuk diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dan Anak Gobah, Pekanbaru.
Mengapa Niwen tidak segera dieksekusi selepas MA memutuskan perkaranya? Mengapa perempuan itu juga tetap berstatus pegawai negeri sipil padahal status hukumnya sebagai terpidana sudah berkekuatan hukum tetap?
Pertanyaan inilah yang muncul di tengah masyarakat atas kasus ini. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah barang tentu bukan melulu berasal dari rasa penasaran kita. Lebih dari itu, pertanyaan itu bersifat retoris. Masyarakat mempertanyakan kesungguhan aparat negara dalam menegakkan keadilan.
Kelambanan eksekusi atas sebuah putusan seringkali dikaitkan dengan kelambanan salinan keputusan diterima oleh jaksa yang akan mengeksekusinya. Dalih itu sebetulnya sangat absurd.
Infrastruktur perhubungan kita semakin membaik. Teknologi komunikasi yang kita pakai pun bukanlah teknologi yang terbelakang. Oleh karenanya, secara teknis, susah bagi kita menerima alasan bahwa salinan keputusan lamban sampai ke tangan jaksa eksekutor.
Jika hal itu terkait dengan mekanisme birokrasi yang bertele-tele, pemerintah wajib segera menatanya. Di mata warga negara, kelambanan eksekusi atas putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah masalah penegakan keadilan; bukan masalah administrasi.
Pembenahan birokrasi untuk memastikan seluruh proses penegakan hukum berjalan dengan kecepatan yang wajar adalah baru salah satu tugas yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.
Selain hal itu, jika kelambanan eksekusi itu terkait dengan pihak-pihak yang sengaja menunda-nunda atau bahkan mengabaikan putusan berkekuatan hukum tetap itu, pemerintah harus menunjukkan sikap transparan dan tindakan tegas. Penodaan terhadap rasa keadilan tak pernah bisa diterima.*beritagar