Teknologi Menciptakan Media Sosial Jadi Lokalisasi Terbesar
Bisnis prostitusi tidak pernah mati. Lokalisasi yang diberantas di mana-mana justru membuat jasa pemuas hawa nafsu itu menemukan habitat baru, yakni media sosial. Lebih rahasia dan nyaman, namun juga mematikan.
”HY manis mw BO (booking, Red) besok ada slot?”. Itu adalah cuitan Prio Santoso melalui akun @santos06yoyo kepada beberapa akun vulgar via ponselnya. Cukup dengan kalimat yang singkat, gayung untuk memuaskan nafsu bersambut. Tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi dengan datang ke lokalisasi atau panti pijat. Nahasnya, ”umpan” itu disambar @tataa_chubby dan berujung pada kematian.
Prostitusi secara online sebenarnya bukan hal baru. Cuma, belakangan ini menjual diri melalui media sosial, khususnya Twitter, sedang menjadi tren. Selain karena penggunanya banyak, memanfaatkannya cukup simpel.
Hanya bermodal alamat e-mail, registrasi di media sosial microblogging itu bisa dilakukan dalam hitungan detik. Twitter juga punya kebijakan yang longgar soal posting materi vulgar. Berbeda dengan media sosial lain seperti Instagram dan Facebook yang relatif lebih ketat. Mengunggah foto atau video porno membuat akun lebih cepat di-banned.
”Aku pakai Twitter karena simpel dan segmented,” ujar Vera, salah seorang teman dekat @tataa_chubby saat ditemui di apartemennya di kawasan Jakarta Timur. Segmented yang dia maksud adalah pasar di Twitter jelas dan lebih berduit. Dia juga bisa memfilter calon pelanggan.
”Coba kalau di tempat prostitusi, siapa saja bisa pakai kita asal punya uang. Kalau kuli kan nggak mungkin Twitter-an,” imbuhnya. Vera tergolong pilih-pilih terhadap calon klien. Dia lebih suka mendapatkan tamu berusia 25 tahun lebih ketimbang anak baru gede (ABG). Alasannya, emosi yang lebih stabil.
Karena itulah, saat ada yang mention akun Twitter-nya dan berujung pada komunikasi melalui WhatsApp, dia selalu meminta foto. Kalau tidak sreg, Vera biasanya mengabaikan komunikasi.
Malah sejak kejadian pembunuhan @tataa_chubby, dia dan teman-temannya lebih waspada. Mereka saling sharing foto calon pelanggan di grup WhatsApp. Tujuannya, jika terjadi sesuatu, teman-temannya tahu siapa yang terakhir bersama dia. ”Kami juga beli alat kejut listrik untuk jaga-jaga,” ujar Vera yang malam itu menggunakan gaun terusan tipis.
Keuntungan lain dari prostitusi online, pendapatan pekerja seks tak perlu dipotong mami atau mucikari. Itulah yang kemudian membuat beberapa teman Vera yang sebelumnya praktik di lokalisasi atau panti pijat kini lebih suka untuk solo karir via Twitter. ”Enakan gini, gak ada potongannya. Aku juga bebas, bisa kerja semaunya,” ungkap dia.
Pendapatan yang diperoleh sepenuhnya membuat tabungan Vera cepat gendut. Sebab, dalam sehari, Vera rata-rata mendapat 4–6 tamu. Rate yang dipatoknya juga tak jauh beda dengan perempuan penghibur di lokalisasi, yakni sekitar Rp 600 ribu sekali kencan. Dengan penghasilan sebesar itu, Vera dengan mudah menyewa apartemen yang cukup mahal di tengah ibu kota.
Dengan booming-nya prostitusi online via Twitter seperti saat ini, mendapatkan empat tamu dalam sehari bukan perkara sulit. Apalagi, belakangan muncul akun-akun alternatif atau yang lazim disebut alter.
Akun alter punya banyak follower karena rajin meng-upload dan retweet foto serta merekomendasikan perempuan riil yang bisa di-booking. Nah, melalui akun-akun alter itulah, Vera, Diana, Tata dan teman-temannya minta dipromosikan. ”Jaminannya, kalau sudah dipromosikan alter, pasti ramai dan bukan tipu-tipu,” kata perempuan yang indekos di kawasan Tebet itu.
Enaknya, promosi lewat alter kebanyakan gratis. Memang ada beberapa admin alter yang berusaha cari keuntungan. Mereka sering meminta uang atau foto bugil para pekerja seks yang dipromosikan.
Nah, selama akun-akun alter itu tak tersentuh penegak hukum, praktik prostitusi online makin cepat berkembang. Sebab, akses informasi bagi pria hidung belang begitu terbuka. Dia cukup follow akun alter dan informasi akan datang sendiri.
Selain lewat alter, para pekerja seks online punya strategi pemasaran sendiri. Yang paling umum adalah mengunggah testimoni klien yang merasa puas di timeline-nya. Cara lainnya, membuka fasilitas member dengan biaya lebih murah untuk mendapatkan foto-foto eksklusif.
Satu yang khas dari bisnis online adalah rentannya penipuan. Sama halnya dengan prostitusi online. Diana mengaku, nama, nomor telepon, dan foto vulgarnya kerap dicatut penipu. Modusnya, si penipu membuat duplikasi akun vulgar yang seolah-olah mirip Diana. Biasanya nama akunnya dibuat mirip dengan foto yang sama.
Saat ada pria hidung belang yang ingin memakai jasa ”Diana”, si penipu meminta down payment (DP) atau pembayaran penuh ke rekeningnya. Meminta DP memang praktik yang lazim digunakan para pelaku prostitusi online. ”Sialnya, nomor teleponku yang dikasihkan ke pelanggan. Jadi, karena sudah transfer, dia minta jatah ke aku,” ceritanya.
Praktik penipuan juga kadang dilakukan klien. Setelah janjian, dia datang ke kos atau apartemen tanpa membawa uang. Ujung-ujungnya, pria tersebut minta dilayani gratis. Diana pernah punya pengalaman pahit seperti itu, yang membuatnya dipukuli. ”Selain mukul, dia mau ambil barang-barangku. Daripada banyak yang hilang, aku kasih dia uang Rp 1 juta,” kisahnya. Sejak saat itu, Diana tak mau menerima tamu tanpa DP.
Untuk menarik lebih banyak calon pelanggan, para pekerja seks online biasanya juga berbuat curang. Tak jarang mereka mengedit habis-habisan foto yang diunggah ke Twitter. Pelanggan yang tertipu tidak bisa berbuat banyak karena sering telanjur transfer DP. Kalau kencan batal, otomatis uang hilang.
Yang perlu diperhatikan, risiko tertular penyakit kelamin tetap tinggi. Berdasar pengakuan beberapa pelaku, mereka biasanya jarang memeriksakan kesehatan kelamin. Paling cepat mereka memeriksakan diri tiap tiga bulan sekali. Namun, tak jarang yang menunggu sampai enam bulan, bahkan setahun sekali.