Hakim Adhoc Gugat UU Aparatur Sipil Negara
Sejumlah hakim adhoc yang tergabung dalam "Tim Sebelas" menguji Ketentuan Pasal 122 Undang-undang (UU) Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ke Mahkamah Konstitusi.
Pemohon menilai Pasal 122 UU Aparatur Sipil Negara secara nyata disebutkan bahwa hakim adhoc tidak termasuk jajaran pejabat negara layaknya hakim karier di tatanan peradilan manapun, sehingga perbedaan kedudukan hakim saat menangani perkara dan memutuskan akan dipertanyakan.
Salah satu pemohon, Hakim adhoc Tipikor Sugeng Santoso, saat membacakan permohonannya dalam sidang di MK Jakarta, Senin, mengatakan tidak masuknya hakim adhoc dalam jajaran pejabat negara menimbulkan kekhawatiran yang berdampak pada penanganan perkara dan putusan yang dihasilkan bisa dinilai ilegal.
"Dampaknya putusannya akan menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara," kata Sugeng.
Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menyebutkan pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Menurut Sugeng, tidak masuknya hakim adhoc sebagai pejabat negara, sama saja membiarkan penerimaan gratifikasi dari pihak beperkara, karena dalam kode etik seorang hakim telah tegas melarang untuk menerima gratifikasi.
"Itu konsekuensi lainnya, para hakim adhoc tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara," katanya.
Sugeng mengatakan jabatan hakim merupakan jabatan negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun pengisian jabatannya, tetapi lebih didasarkan pada fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dan menimbulkan dampak berbeda terhadap pembayaran pajak penghasilan hakim adhoc.
"Pengenaan pemotongan pajak atas PPH 1 atas tunjangan kami, lagipula sebelum UU ini keluar kami memperoleh gaji ke- 13 tapi dengan adanya Pasal ini kami tidak akan mendapatkan dan itu merugikan," katanya.
Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 122 huruf e khususnya frase "kecuali hakim adhoc" bertentangan dengan UUD 1945.
Ketua Majelis Panel Arief Hidayat mengatakan argumen yang digunakan masih kurang kuat untuk menunjukkan adanya kerugian konstitusional yang ditimbulkan.
"Dieksplor lebih jauh, beri penjelasan yang bersifat akademik. Misalnya istilah dalam beberapa literatur tentang kesimpangsiuran arti pejabat negara, masukan definisi pejabat negara dari berbagai sumber untuk memperkuat. Itu harus dimasukkan," kata Arief Hidayat.
Untuk itu, majelis panel memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.