Bila Hakim Kembali Jadi PNS
Dalam Kuliah umum bertajuk Urgensi Keterlibatan Komisi Yudisial dalam RUU Jabatan Hakim di Aula Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, Kamis (02/03) Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari menyatakan bahwa dalam RUU Jabatan Hakim yang sekarang dalam proses legislasi, terkait dengan masalah status jabatan hakim antara pegawai negeri sipil atau pejabat negara, KY mengusulkan agar jabatan atau status tetap sebagai pegawai negeri tetapi jabatan fungsionalnya sebagai hakim, mirip seperti dosen nantinya sehingga hakim juga bisa berkarir.
Tidak cuma dalam kesempatan itu saja Ketua KY mengemukakan hal tersebut. Dalam Seminar Sehari RUU Jabatan Hakim dengan tema "Peningkatan Kualitas Peradilan Melalui Penguatan Profesionalitas Hakim" Rabu (30/11/2016). Di Ruang Rapat KK I Gedung Nusantara DPR/MPR RI, Jakarta, Aidul Fitriciada Azhari menyatakan "Kedudukan hakim sebagai pejabat negara yang diatur dalam UU ASN memang banyak menimbulkan konsekuensi. Namun berdasarkan sistem hukum kita, sebaiknya jenjang karir hakim disamakan dengan PNS".
Terhadap pernyataan-pernyataannya tersebut tampaknya Ketua KY tidak menyadari bahwa usulannya tersebut selain ahistoris juga berpotensi mengancam eksistensi lembaga yang dipimpinnya.
Sejarah Hakim sebagai Pejabat Negara
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang yang berlaku sekarang seperti Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) dan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), hakim dikategorikan sebagai pejabat negara.
Penyematan status pejabat negara ini kepada hakim selain sesuai dengan kehendak UUD NRI 1945 juga sebenarnya adalah salah satu amanat reformasi atas refleksi selama orde baru dan orde lama ternyata hakim yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tidak mampu bersikap independen dan mudah diintervensi terutama oleh penguasa sehingga putusan-putusannya cenderung mengakomodir status quo bukan putusan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana amanat konstitusi.
Tap MPR RI NO X/MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara menyatakan pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan.
Namun pada waktu itu disadari dengan adanya rencana disematkannya status hakim sebagai pejabat negara yang berarti pula sistem pengawasan terhadap hakim yang saat itu menggunakan sistem pengawasan PNS akan tidak berlaku lagi kepada hakim, maka perlu dibentuk lembaga yang menjadi pengawas para hakim.
Walhasil atas kesadaran itu dalam amandemen ketiga UUD 1945 dibentuk KY yang salah satu tugasnya adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk pertama kali diatur bahwa hakim pada semua badan peradilan adalah pejabat negara.
Meskipun demikian, setelah orde reformasi berjalan hampir 2 dekade dan bahkan beberapa Undang-Undang turut pula mengukuhkan status hakim sebagai pejabat negara, tetapi perlakuan terhadap hakim pada kenyataannya masih perlakuan sebagaimana layaknya pada pegawai negeri sipil lainnya kecuali dalam hal-hal tertentu seperti masalah kesejahteraan yang sekarang sudah lebih baik dibanding beberapa jabatan pns lainnya.
Masih diperlakukannya hakim sebagai PNS salah satu sebabnya adalah karena dalam peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang seperti salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil, hakim masih termasuk jabatan yang tercakup dalam PP tersebut yang berarti secara tidak langsung masih mendudukan hakim sebagai PNS.
Selain itu ada beberapa hal lain yang membuat hakim masih diperlakukan sebagai PNS yaitu gaji pokok hakim masih mengikuti gaji pokok PNS dan pada setiap hakim masih tersemat Nomor Induk Pegawai (NIP) yang merupakan nomor registrasi yang diperuntukan untuk PNS.
Oleh karena itu, alasan Bergulirnya RUU Jabatan Hakim sampai pada proses legislasi seperti sekarang ini salah satunya berasal dari niatan untuk menyelesaikan disparitas antara status pejabat negara yang disandang hakim berdasar Undang-Undang dengan perlakuan dalam keseharian tugas hakim yang ternyata lebih nyata sebagai PNS atas dasar beberapa Peraturan Pemerintah yang ada.
Tujuan utama dari penyelesaian terhadap masalah itu melalui RUU JH adalah terbentuknya hakim-hakim yang berkarakter independen dan bermental negarawan yang loyal terhadap hukum dan keadilan sebagaimana amanat konstitusi dan reformasi.
Bukan hakim-hakim yang bermental birokratis sebagaimana layaknya sosok aparatur sipil negara. Berdasarkan hal itu pula maka adalah keliru jika ada yang berprasangka motif utama dari pengukuhan hakim sebagai pejabat negara itu adalah kesejahteraan.
Pengawasan Hakim
Selain itu, dengan adanya UU ASN, jika status hakim dikembalikan seperti orde lama dan orde baru sebagai PNS sedangkan PNS adalah termasuk dalam kategori ASN maka dengan sendirinya hakim harus tunduk dengan UU ASN.
Hal ini memberi konsekuensi hukum untuk hakim bahwa segala aturan mengenai ASN yang diatur dalam UU ASN juga mengikat hakim.
Apabila demikian, maka terdapat beberapa konsekuensi hukum yang harus diterima jika hakim berstatus sebagai PNS.
Pertama, hakim tunduk pada manajemen ASN dan karena manajemen ASN adalah bagian dari kekuasaan pemerintah sebagaimana diatur Pasal 25 UU ASN maka hakim adalah bagian dari pemerintah.
Dari segi tata negara, keadaan demikian memunculkan masalah karena kekuasaaan yang dilakukan hakim berdasarkan UUD NRI 1945 adalah kekuasaan kehakiman yang seharusnya merdeka dan makna kemerdekaan itu salah satunya adalah merdeka dari kekuasaan pemerintah.
Kedua, dalam UU ASN diatur tentang adanya Komisi ASN (KASN) yang salah satu fungsinya adalah mengawasi kode etik dan kode perilaku ASN sehingga ke depannya jika hakim adalah PNS maka KY tidak lagi bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengawasi kode etik hakim.
KY harus berbagi kewenangan atau bahkan menyerahkan kewenangannya kepada KASN sehingga praktis hanya menjadi lembaga penyelenggara seleksi hakim agung saja. Sebab dengan mengingat kembali salah satu tujuan dibentuknya KY yaitu untuk mengawasi hakim yang bukan PNS kembalinya hakim sebagai PNS maka setengah dari urgensi adanya eksistensi KY menjadi hilang dan karena hakim kembali menjadi PNS berarti pengawasan hakim termasuk dalam wewenang KASN.
Hal ini sebenarnya sangat ironis mengingat selama ini KY tidak henti-hentinya berupaya untuk mengklaim pengelolaan manajemen dan pengawasan hakim.
Ketiga, seleksi hakim harus mengikuti standar ASN. Hal ini tentu saja akan mendegradasikan kualitas hakim yang diharapkan oleh konstitusi yaitu penegak hukum dan keadilan. Tanpa bermaksud merendahkan PNS/ASN, akan tetapi seharusnya seleksi hakim harus memiliki standar yang jauh lebih tinggi dari seleksi PNS/ASN.
Karena jabatan hakim seharusnya diemban oleh sosok-sosok yang sudah terbukti keilmuannya dan teruji integritas pribadinya. Hakim haruslah sosok yang sudah selesai dengan hidupnya sendiri bukan manusia yang baru memulai untuk menata kehidupan karena ditangannya selama menjabat akan ada ribuan nasib manusia digantungkan. Akan sangat berisiko menyerahkan nasib mereka kepada orang-orang yang masih sibuk membangun hidupnya sendiri.
Keempat, konsekuensi anggaran. Banyak pihak seperti ketakutakan jika hakim menjadi pejabat negara karena akan berdampak pada membengkaknya anggaran padahal mengembalikan status hakim menjadi PNS pun secara fair akan berdampak pada anggaran.
Hak dari seorang PNS yang selain gaji pokok dan tunjangan jabatan salah satu diantaranya adalah tunjangan kinerja. Sejak lahirnya PP Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim dibawah Mahkamah Agung, hakim tidak lagi mendapat tunjangan kinerja karena pola kinerja hakim bukan pola kinerja PNS.
Tetapi dengan kembalinya status hakim menjadi PNS maka hak yang telah hilang ini seharusnya kembali dimiliki hakim dan tentu ini akan berdampak signifikan terhadap pembengkakan anggaran.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, usulan KY yang meminta agar status hakim dikembalikan menjadi PNS sama sekali bukan solusi. Usulan itu justru bukan hanya kemunduran sejarah hampir 2 dekade tetapi juga pengkhianatan terhadap salah satu amanat reformasi.
Selain itu usulan tersebut juga akan menjadi bumerang bagi KY terkait kewenangan pengawasan hakim yang selama ini diklaimnya karena kewenangannya akan berbenturan dengan kewenangan yang dimiliki oleh KASN.
Walhasil usulan KY tersebut akan menjadikan RUU JH menjadi kontraproduktif karena akan gagal menyelesaikan persoalan pokok yang selama ini justru menjadi alasan utama bergulirnya RUU JH ke proses legislasi.
Wahyu Sudrajat
Hakim Pengadilan Negeri Magelang*detik