Ki Sugeng Subagya: Guru Wiyata Bakti
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) telah mendiskusikan wacana penarikan guru pegawai negeri sipil (PNS) dari sekolah swasta dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Hasil diskusi menyepakati tidak akan ada penarikan guru PNS dari sekolah swasta. Diskusi itu juga menyepakati adanya penambahan kuota guru PNS untuk ditempatkan di sekolah swasta. Wacana penarikan guru PNS dari sekolah swasta dipicu oleh kekurangan jumlah guru pada sekolah negeri.
Dinas Pendidikan Kabupaten Rejanglebong Provinsi Bengkulu menyebut, daerah itu kekurangan 372 guru SD/MI. Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah masih mengalami kekurangan 900 guru SD/MI. Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta memprediksi, akhir tahun 2017 kekurangan guru SD/MI 517 orang. Kekurangan jumlah guru ini meliputi guru kelas, guru pendidikan jasmani dan kesehatan, dan guru pendidikan agama.
Seolah-olah kekurangan jumlah guru hanya isu dan terjadi di atas kertas semata. Entoh selama ini kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung. Jika terjadi kekurangan jumlah guru, kegiatan belajar mengajar pasti terganggu.
Terkesan
Tanpa analisis komprehensif, memang terkesan tidak tampak kekurangan jumlah guru di daerah. Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, malah terkesan kelebihan jumlah guru SD/MI.
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) Kabupaten Gunungkidul 2016-2021 menyebutkan, jumlah SD/MI di Gunungkidul ada 483. Jumlah guru ada 4.774 orang. Jumlah ruang kelas ada 3.070 ruang. Secara sederhana dapat diasumsikan bahwa Kabupaten Gunungkidul membutuhkan 483 orang kepala SD/MI, 483 orang guru pendidikan jasmani dan kesehatan, 483 orang guru pendidikan agama, dan 3.070 orang guru kelas. Secara keseluruhan membutuhkan 4.519 orang guru SD/MI. Jika saat ini terdaftar 4.774 orang guru maka terdapat kelebihan 255 orang guru SD/MI.
Menghitung kebutuhan guru dengan analisis sederhana tanpa mempertimbangkan satus kepegawaian guru cenderung menyesatkan. Varian status kepegawaian guru di Indonesia sangat beragam. Secara umum dapat dibedakan menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru swasta. Guru PNS dapat dibedakan menjadi dua, ialah guru PNS yang bertugas di sekolah negeri dan guru PNS yang bertugas di sekolah swasta. Sedangkan guru swasta macam-ragamnya lebih banyak lagi. Ada guru swasta yang berstatus guru tetap yayasan (GTY) dan guru tidak tetap (GTT). GTT yang dalam berbagai kesempatan disebut sebagai guru wiyata bakti (GWB) tidak hanya ada dan bertugas di sekolah swasta, tetapi juga di sekolah negeri. GWB inilah yang telah mencukupi kebutuhan guru. Di DIY, setiap SD/MI negeri rata-rata hanya memiliki 3-5 orang guru berstatus PNS, sedang 4-6 orang lainnya berstatus GWB.
Menjadi Pilihan
Pendayagunaan GWB menjadi pilihan menutup kekurangan jumlah guru. Hal ini disebabkan usulan penambahan tenaga guru guna dimasukkan dalam formasi calon pegawai negeri sipil (CPNS) terganjal kebijakan moratorium pengangkatan PNS. Sekolah mendapat ruang menerima GWB sesuai dengan kebutuhan. Persoalan lain yang terjadi di balik kekurangan jumlah guru adalah kecilnya honor untuk GWB. Penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk honorarium tidak diperbolehkan lebih dari 20%. Akibatnya honorarium yang diterima GWB sangat kecil. GWB telah menyelamatkan keberlangsungan proses belajar mengajar. Tanpa kehadiran GWB, proses belajar mengajar lumpuh. Asumsinya, lumpuhnya proses belajar mengajar berpengaruh terhadap menurunnya kualitas pendidikan.
GWB adalah penyelamat dan penyangga menurunnya kualitas pendidikan. Dengan beban tugas berat dan honorarium kecil, GWB masih mau dan mampu bertahan melaksanakan tugas mencerdaskan anak bangsa. Kecuali alasan pengabdian kepada nusa dan bangsa, juga berharap pada saatnya mendapat prioritas diangkat sebagai guru tetap.
Jika benar pemerintah tidak menarik guru PNS dari sekolah swasta dan bersamaan itu Mendikbud menjanjikan penambahan kuota guru PNS ditempatkan di sekolah swasta, maka untuk mencukupi kebutuhan guru kebijakan moratorium harus dicabut. Pemerintah membuka pendaftaran calon PNS untuk formasi guru dengan prioritas utama diberikan kepada GWB yang telah berjasa menyelamatkan kegiatan belajar mengajar dan menyangga turunnya kualitas pendidikan. Jangan sampai nasib GWB seperti pepatah, habis manis sepah dibuang. Datan kedhapuk malah kedhupak.
(Ki Sugeng Subagya. Pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) DIY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 28 Februari 2017)*krjogja