Peneliti dan Alumnus Pascasarjana UGM : Netralitas ASN dalam Pilkada
SETELAH masa kampanye yang panjang, hari rabu tanggal 15 Februari 2017 menjadi puncak penantian pelaksanaan pilkada. Hari itu, saatnya mulai melihat mesin-mesin politik tim sukses setelah bergerak secara progresif untuk mengegolkan hasrat politik kandidat. Diakui atau tidak, selama ini posisi birokrat dalam hal ini pejabat publik Aparatur Sipil Negara (ASN) sangat rawan terpolitisasi oleh calon kandidat kepala daerah.
Birokrasi merupakan suatu instrumen negara, pelaksana kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dan abdi masyarakat yang seharusnya bekerja profesional, netral, non diskriminatif dan bekerja untuk kepentingan nasional. Dengan memberikan pelayanan publik dalam rangka memajukan kesejahteraan, menciptakan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Birokrasi akan menjadi trouble maker dan penghambat perubahan serta penguat inovasi kemajuan masyarakat. Ini terjadi jika birokrasi ‘berpolitik’ atau dikooptasi untuk dijadikan instrumen kekuasaan bagi para politisi. Peranannya akan semakin tereduksi dari tujuan semula dibentuknya birokrasi.
Politisasi Birokrasi
Menurut Gladden, dalam suatu negara demokrasi, civil servants devote their to the service of community. Karena itu, dalam peranannya birokrasi untuk menentukan kebijakan tanpa ada tendensi apapun. Namun Syafuan Rozi, dalam buku ‘Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak : Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia’ (2007) menyatakan secara tegas bahwa sistem zaman pra kolonial, orde lama, orde baru bahkan pada masa reformasi mengalami pembusukan politik yang korup. Dengan satu titik tekan bahwa selama ini politisasi birokrasi menjadi problem dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Zaman terus bergerak. Dulu di masa kolonial Belanda di negeri kita ada gejala negara pegawai dan dipanggil tuan Ambtenaar atau pengreh praja cenderung menjadi komprador, mematai-matai masyarakat. Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi, tahun 1998, Indonesia mengalami penyakit bureaumania yaitu sebuah penyakit yang disebabkan adanya sosok birokrasi yang bersifat infinitas. Yakni institusi yang mengatur dan memiliki ketidakterbatasan wewenang dan ruang gerak di suatu negara.
Dalam konteks pemerintahan pusat dan daerah, birokasi cenderung dijadikan alat kepentingan status quo oleh pemerintah dengan tujuan untuk mempertahankan satu sistem kekuasaan yang monolitik dan otoriter. Selain itu, muncul kekhawatiran penyalahgunaan dana APBN dan APBD. Karenanya, menjaga netralitas birokrasi perlu upaya-upaya strategis dan serius.
Bermain Politik
Berdasarkan pengalaman dalam pilkada di beberapa daerah, masih banyak oknum yang duduk dalam sistem birokrasi pemerintahan termasuk aparatur sipil negara (ASN) ikut bermain politik. Mereka sangat rentan diiming-imingi jabatan.
Menjaga netralitas dan profesionalitas birokrasi, sangat penting. Sebab politisasi birokrasi telah menimbulkan gejala distorsi fungsi birokrasi. Misal diskriminasi dalam pelayanan publik terhadap kelompok yang berbeda afiliasi politik, praktik ekonomi biaya tinggi untuk pendanaan orsospol tertentu, politisasi bahasa untuk status quo kekuasaan, mobilisasi politik dan bahkan kolusi, nepotisme pribadi. Birokrasi kita diharapkan bisa menjadi birokrasi yang otentik, yakni mempunyai kapasitas memberikan jalan ke luar dan penyelesaian masalah nasional dan lokal.
Birokrasi terbaik yang bisa mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang makmur berkecukupan. Ada keteraturan dan kejelasan dalam standar operasional, memiliki kepastian soal kualitas pelayanan, memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi warga negara, bukan hanya janji-janji belaka.
Filsuf Jerman, Friedrich Hegel menilai bahwa birokrasi seharusnya melayani kepentingan umum, karena dalam kenyataan kebijaksanaan pemerintah seringkali hanya menguntungkan sekelompok partai atau orang dalam masyarakat. Kita hanya bisa berharap anggota ASN yang duduk dalam sistem birokrasi daerah, bisa menjadi kekuatan untuk mendorong perubahan atau perbaikan birokrasi lokal. Demi menjaga netralitas birokrasi dalam pilkada hari ini, demi mengantarkan Bangsa Indonesia ke arah kemajuan yang lebih demokratis dan bebas dari unsur KKN. (Syahrul Kirom Mphil. Peneliti dan Alumnus Pascasarjana UGM Yogyakarta dan Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan)*krjogja